PCR DAN ANTIGEN SEBAGAI SYARAT PERJALANAN

Post a Comment
Konten [Tampil]

 


 Selama dua tahun kita hidup berdampingan dengan pandemi Covid-19 yang mana segala peraturan pun sangat cepat berubah-ubah salah satunya adalah mengenai syarat perjalanan di masa pandemi ini. Tentunya syarat perjalanan yang berubah-ubah tersebut dikarenakan berbagai aspek. Namun, aturan yang berubah-ubah tersebut tentu membuat bingung para pelaku perjalanan ataupun masyarakat. Lalu apa sih yang perlu dicermati mengenai aturan yang berubah-ubah tersebut?

Nah, kemarin aku mengikuti streaming #RuangPublikKBR dengan tema “PCR dan Antigen Sebagai syarat perjalanan.” Narasumbernya merupakan epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dr. Pandu Riono, MPH,Ph.D dan ketua Lab Intervensi Krisis, FPsikologi Universitas Indonesia sekaligus aktivis Lapor Covid-19 yaitu Dicky Pelupessy. Bagaimana detail lengkapnya mengenai PCR dan Antigen sebagai syarat perjalanan? Yuk disimak duu ya!

 


Menurut Pak Pandu, terkait peraturan berubah-ubah beliau mengatakan hal tersebut harus dipertanyakan kepada pembuat aturan. Namun, beliau mencoba membedah mengapa peraturan itu harus ada.  Aturan untuk screening perjalanan sudah dilakukan sejak tahun lalu. Seperti tes antibodi, tes antigen, dan juga tes PCR. Nah, yang menjadi permasalahan dimasa sekarang adalah keputusan peraturan yang mewajibkan tes PCR sebagai syarat untuk melakukan perjalanan. Padahal, tujuan dari screening sendiri adalah menjamin bahwa pelaku perjalanan tidak terinfeksi dan juga tidak berpotensi menularkan virus Covid-19 kepelaku perjalanan lainnya. Menurut Pak Pandu, jika tujuannya screening maka tes antigen sudah cukup untuk menjadi syarat perjalanan domestik bagi masyarakat yang sudah melakukan vaksinasi. Disisi lain, yang menjadi maslaah adalah harga tes PCR sangatlah mahal sehingga banyak masyarakat yang keberatan dengan peraturan tersebut.

Menurut Pak Pandu bahkan regulasi peraturan yang ada dimasa sekarang mengalami kejanggalan. Karena, beberapa keputusan kebijakan yang diterapkan diputuskan oleh menteri perhubungan seharusnya ini merupakan kewajiban menteri kesehatan untuk memutuskan kebijakan mengenai kesehatan. Selain itu, dari segi tupoksinya pun kurangnya koordinasi para menteri. Mungkin dikarenakan rasa ketakutan dan panaroid yang teralu besar mengenai munculnya gelombang ketiga sehingga menyebabkan pengambilan keputusan sering tidak rasional. Menurut Pak Pandu pun, kebijakan boleh saja berubah-ubah apalagi untuk hal yang mengarah pada kebaikan namun pastikan bahwa kebijakan yang dibuat dapat menguntungkan semua pihak bukan hanya pihak tertentu. Karena ini menyangkut kesehatan publik, maka publik harus diutamakan.

Adapun pandangan lain dari Pak Dicky Mengenai aturan yang berubah-ubah ini perlu kebijakan yang efektif namun perlu diperhatikan untuk tidak memberatkan masyarakat. Jangan sampai membuat aturan yang berat dan tidak masuk akal. Menurut beliau screening dan diagnosis harus clear penempatannya, dan tidak memberatkan masyarakat semua kebijakan harus dipertimbangkan. Berkaitan dengan peraturan pemerintah yang berubah-ubah tersebut maka akan memberikan dampak psikologis bagi masyarakat. Dari segi aspek perilaku maka akan menyebabkan masyarakat tidak mempercayai pemerintah. Sehingga perlu adabnya kajian komunikasi public dan komunikasi krisis pemerintah di masa pandemi ini. Hal ini agar apapun tentang pandemic ini bisa sampai dengan baik dan diterima oleh masyarakat.

Apakah peraturan yang dibuat sudah efektif?

Menurut pak Dicky, antigen dan PCR itu memiliki karakteristik tersendiri kapan harus digunakan dan untuk keperluan apa. Antigen dan PCR ini merupakan hanya satu dari sekian langkah yang harus dilakukan dimasa pandemic ini. Ada 3T (Test, Tracing, and Treatment), untuk mengendallikan mobilitas 1 dari 5m. Jika membicarakan tentang keefektivitasan tentu bukan hanya membicarakn tentang testing ini saja, tetapi juga langkah lain yang harus dilakukan secara serius. Sehingga mengenai peraturan perjalanan yang dilakukan menjadi bagian dari 3T ataupun 5M. Sehingga, tentunya perilaku lain pun juga berhubungan dengan ke efektifitasan mengenai peraturan perilak perjalanan yang telah diterapkan.

Antigen dan PCR merupakan metode untuk mendeteksi keberadaan virus tetapi ada perbedaan diantara keduanya. Untuk PCR jauh lebih akurat dan sensitive karena benar-benar menggunakan metode amplipikasi. Jadi, Meskipun Virusnya Sedikit Maka Tetap Bisa Terlihat. Sedangkan tes antigen jauh lebih mudah, karena yangdiperiksa protein virusnya bukan virsnya secara keseluruhan. Dan untuk menggunakan antigen virusnya harus terlihat banyak baru bisa dilihat hasilnya. Menurut pak Pandu, meskipun ada perbedaan antara tes antigen dan PCR tetaplah menteri kesehatan yang dapat memutuskan standarisasinya. Jadi, mengenai harga tes pcr dan antigen yang bervariasi harusnya menjadi kebijakan pemerintah untuk menetapkan standar laboratorium dan standar perugas pemeriksaan. Agar semua hasil pemeriksaan berjalan dengan optimal, dan dapat mendeteksi orang yang kemungkinan membawa virus dan juga terinfeksi.

Pak Dicky Berpesan kepada masyarakat yang kebingungan dengan peraturan pemerintah yang berubah-ubah agar masyarakat lebih giat lagi untuk mencari informasi yang terbaru. Selain itu, untuk masyarakat tetap menerapkan protocol kesehatan, vaksinasi, dan juga tetap menggunakan aplikasi pedulilindungi. Ditengah informasi yang cukup membingungkan ini, tentunya masyarakat harus berupaya untuk mengikuti bagaimana regulasi yang diterapkan.

Semoga kedepannya, untuk penanganan pandemi ini pihak pemerintah dan pembuat aturan lebih terbuka kepada masyarakat. Selain itu, untuk setiap keputusan yang diambil diharapkan agar jauh dari kepentingan pribadi tetapi lebih mengutamakan kepentingan publik. Hal ini, tentunya akan membuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah semakin tinggi.

 

FatimahAqila
Hi i am Fatimah | 5 September 1996 | Love the color blue, pink, and white | Love Elmo very much | Lets make friends with me ❤

Related Posts

There is no other posts in this category.

Post a Comment